Sering kali orang bertanya-tanya, bagaimana menghitung pajak penghasilan suami-istri yang seharusnya. Jawabannya adalah berdasarkan status suami-istri yang dipilih masing-masing. Setiap suami-istri diberikan hak dan kewajiban dalam menentukan status yang dipilih. Status kewajiban perpajakan suami-istri sudah diatur dalam ketentuan perpajakan di Indonesia.
Sejak bulan Juli 2014, berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-19/PJ/2014, bentuk SPT Tahunan Orang Pribadi yang dipergunakan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi untuk melaporkan penghasilan mengalami beberapa perubahan, salah satunya terdapat 4 (empat) kolom dalam status kewajiban perpajakan suami-istri, yaitu:
KK
KK adalah Kepala Keluarga, dimana suami-istri tidak menghendaki untuk melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan secara terpisah. Dalam hal ini berarti penghasilan dari suami-istri dianggap sebagai satu kesatuan dan dilaporkan dalam SPT tahunan suami sebagai kepala keluarga. Biasanya cukup suami sebagai kepala keluarga yang memiliki NPWP, istri bisa mendapatkan NPWP juga namun NPWP cabang dari suami. (3 digit terkahir 999)
HB
HB adalah Hidup Berpisah, dimana berdasarkan putusan hakim suami-istri resmi hidup berpisah atau bercerai. Karena sudah disahkan berpisah, maka suami dan istri melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan secara terpisah dengan memiliki NPWP sendiri-sendiri. Secara perpajakan status masing-masing dianggap sebagai pribadi yang tidak kawin (TK).
PH
PH adalah Pisah Harta, dimana suami-istri yang tidak bercerai tetapi sepakat dihadapan hukum melakukan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan. Suami dan istri harus memiliki NPWP sendiri-sendiri dan melaporkan SPT secara terpisah. Namun dalam menghitung pajak suami-istri harus berdasarkan penghasilan suami ditambahkan penghasilan istri dan kemudian dihitung secara proporsional dengan perbandingan penghasilan mereka.
MT
MT adalah Manajemen Terpisah, dimana suami-istri dikenai pajak secara terpisah karena dikehendaki oleh istri yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri. Perlakuan perpajakan MT sama dengan PH, dimana suami dan istri harus memiliki NPWP sendiri-sendiri dan melaporkan SPT secara terpisah. Namun dalam menghitung pajak suami-istri harus berdasarkan penghasilan suami ditambahkan penghasilan istri dan kemudian dihitung secara proporsional dengan perbandingan penghasilan mereka.
Berikut ini contoh perhitungan pajak untuk status PH (Pisah Harta) atau MT (Manajemen Terpisah), dimana pajak terhutang suami-istri yang dihitung secara proporsional:
*Bapak Basuki adalah seorang arsitek dengan penghasilan netto setahun sebesar Rp 700.000.000,-. Istri Bapak Basuki adalah seorang direktur di perusahaan orang-tuanya dengan penghasilan netto setahun sebesar Rp 1.200.000.000,-. Bapak Basuki dan istrinya memiliki 2 (dua) orang anak. Sebelum menikah mereka sudah membuat perjanjian pisah harta dan sudah memiliki NPWP secara terpisah. Berapa pajak yang harus dibayarkan masing-masing ?
Penghasilan Suami | 700.000.000 |
Penghasilan Istri | 1.200.000.000 |
Total Penghasilan Suami-Istri | 1.900.000.000 |
Status : K/I/2 | |
– untuk Suami | 54.000.000 |
– untuk Istri | 54.000.000 |
– tambahan karena menikah | 4.500.000 |
– tambahan 2 anak | 9.000.000 |
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) | 121.500.000 |
Penghasilan Kena Pajak | 1.778.500.000 |
5 % x Rp 50.000.000,- | 2.500.000 |
15 % x Rp 200.000.000,- | 30.000.000 |
25 % x Rp 250.000.000,- | 62.500.000 |
30 % x ( Rp 1.778.500.000 – Rp 500.000.000 ) | 383.550.000 |
Total Pajak Terhutang Gabungan | 478.550.000 |
Pajak Terhutang Suami | 176.307.895 |
( 700 / 1.900 x Rp 478.550.000,- ) | |
Pajak Terhutang Istri | 302.242.105 |
( 1.200 / 1.900 x Rp 478.550.000,- ) |
Berdasarkan penjelasan diatas, suami-Istri dengan status berpisah (HB) harus melaksanakkan hak dan kewajibannya secara terpisah. Begitu juga untuk suami-istri yang memiliki perjanjian pisah harta dan penghasilan sebelum menikah (PH), kewajiban perpajakannya harus dilaksanakan masing-masing dan tidak bisa memilih.
Bagi suami-istri yang tidak berpisah terdapat kesempatan untuk memilih melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya secara satu kesatuan (KK) atau manajemen terpisah (MT). Dalam memilih status KK atau MT, lebih baik untuk diperhatikan keadaan dan dampaknya terlebih dahulu.
Berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan Nomor 36 Tahun 2008, dalam Pasal 8 ayat (1), Istri yang memperoleh penghasilan dari 1 (satu) pemberi kerja yang telah dipotong pajak berdasarkan ketentuan Pasal 21 dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami dianggap sebagai penghasilan final dan tidak perlu digabungkan dengan penghasilan suami. Untuk itu bagi istri yang hanya memiliki penghasilan dari 1 (satu) pemberi kerja dan tidak ada kepentingan lainnya lebih baik untuk menggunakan status KK bersama dengan suaminya. Apabila memilih menggunakan status kewajiban perpajakan MT (Manajemen Terpisah), terdapat kemungkinan SPT Tahunan yang dilaporkan menjadi kurang bayar karena penggabungan penghasilan suami dan istri.
Semoga artikel ini dapat bermanfaat bagi anda yang sedang menentukan status kewajiban perpajakan untuk suami-istri.
Hubungi kami apabila anda membutuhkan jasa konsultan pajak karena kami selalu siap untuk membantu anda.
Rekan sekalian dapat menghubungi kami di :
Telepon : 021 – 62308178 / 63208179
Email : contact@smco.co.id